Senin, 29 Maret 2010

Wajah Transportasi Ibu Kota

Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet. Demikian olok-olok setiap kita bicara mengenai transportasi di Ibu Kota.

Berbicara tentang masalah transportasi di negeri ini berarti mendedah kompleksitas tingkat tinggi dan sedemikian dinamisnya.

Dalam hal ini, publik perlu sekali mengetahui berbagai problem transportasi dengan perspektif yang jernih agar tidak hanya berteriak: “macet!”

Demikian yang tersirat dari buku 1001 Wajah Transportasi Kita yang ditulis Bambang Susantono, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Penulis mengawali dengan busway vs macet.

selanjutnya, menyinggung monorel, subway, dan waterways. Pembahasan masalah transportasi dalam buku ini cukup lengkap dengan berbagai materi bahasan, mulai dari yang sifatnya padat teknologi seperti transportasi udara hingga becak yang dikayuh manusia. Dari subway, monorel, busway, hingga angdes.

Dari angkutan laut, sungai, dan penyeberangan hingga kereta api dan angkot. Tak lupa juga dibahas moda sejuta umat alias sepeda motor yang makin ngetren sebagai alat bantu sehari-hari, bahkan mudik Lebaran.

Meski pembahasan buku ini masih terasa ada jarak antara penulis dan pembaca, karena bahasannya belum menyentuh pada esensi solusi dalam mengurai benang kusut masalah transportasi, ada poin plus dalam buku ini dibanding buku-buku sejenis, yaitu buku ini disertai dengan tip praktis nyaman dan aman di jalan.

Tentu tak rugi rasanya kalau kita mau menerapkan saran-saran tip praktis dalam buku ini agar perjalanan kita menjadi lebih menenteramkan hati.

Mulai dari naik angkot (angkutan perkotaan), bus, KRL (kereta rel listrik) jabodetabek, taksi, bus antarkota, kereta api antarkota, kendaraan pribadi, angdes (angkutan perdesaan), pesawat udara, kapal laut, sampai angkutan sungai.

Buku ini merupakan salah satu upaya agar masyarakat dapat berperan aktif dalam memecahkan masalah transportasi di negeri ini.

Harapannya agar ketika kita mendengar pemeo yang bersinggungan dengan transportasi seperti “murah kok minta aman,” “ke laut aja,” atau membaca stiker yang sekarang jarang tertempel di belakang bak truk “Utamakan Selamat,” kita dapat memahaminya dalam perspektif lebih luas.

Ataupun, ketika kita mengeluh karena terjebak kemacetan, kita tahu bahwa kita sendiri merupakan bagian dari kemacetan itu.

Macet dan kesemrawutan di jalan merupakan masalah memprihatinkan. Kondisi itu memang sudah telanjur menjadi benang kusut sehingga untuk mengurainya bukan saja dibutuhkan jemari yang terampil, tapi juga mahir sehingga dapat bersahabat dengan benang kusut itu untuk bisa dikondisikan baik.

Perlu kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan harapan tersebut. Bahwa masalah penanganannya bukan hanya dari pemerintah saja, tapi juga kita masyarakatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar