Senin, 22 November 2010

Perdagangan bebas dan Hubungannya dengan Etika Bisnis Global

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.



Di pintu gerbang era berlakunya Perjanjian Perdagangan Pasar Bebas ASEAN-Cina, industri dalam negeri diliputi kekhawatiran yang sangat tinggi. Yang dikhawatirkan adalah hancurnya industri dalam negeri karena kalah bersaing di tengah membanjirnya produk luar negeri, khususnya Cina, yang telah bertahun-tahun menguasaiIndonesia.

Di samping itu, Indonesia belakangan ini masih juga terus membanggakan pertumbuhan ekonominya. Namun, sebenarnya, keadaan ini tidak berkualitas lantaran hanya ditopang konsumsi dan ekspor produk primer. Semua itu tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan mengurangi angka kemiskinan secara absolut. Masyarakat pun terus saja rentan menjadi miskin jika penguasaan teknologi ekonomi kita tidak berkembang. Hal ini mengingat apa yang dikatakan J Gremillion, seorang ekonom yang sangat mendukung pasar bebas, bahwa salah satu ukuran kemajuan suatu bangsa dan keberhasilan suatu pemerintahan di era pasar bebas adalah tingkat kemampuannya untuk menguasai teknologi ekonomi.

Namun, persoalan yang dihadapi Indonesia sebenarnya bukanlah sendirian. Masih banyak negara lain, khususnya negara-negara berkembang, yang mengalami nasib yang sama. Sehingga, kepincangan dan ketidakadilan global akan terus membuntuti kencangnya persaingan di era pasar bebas ini. Lalu, apa yang mesti dilakukan?

Penguasaan teknologi ekonomi
Negara-negara yang terlibat dalam gelombang pasar bebas, menurut Gremillion, mesti memahami bahwa pada era sekarang ini sedang didominasi oleh sebuah rancangan pembangunan dunia yang dikenal sebagai Marshall Plan yang menjadi batu sendi interpendensi global yang terus memintal dunia. Biar bagaimanapun rancangan pembangunan dunia yang mengglobal itu selalu memiliki sasaran ekonomi dengan penguasaan pada kemajuan teknologi ekonomi yang akan terus menjadi penyanggah bagi kekuatan negara atau pemerintahan.

Artinya, dari penguasaan teknologi ekonomi itulah, segala kekuatan arus modal investasi dan barang-barang hasil produksi tidak menjadi kekuatan negatif yang terus menggerogoti dan melumpuhkan kekuatan negara. Karena, senang atau tidak, kita sekarang sedang digiring masuk dalam suatu era baru pada percaturan ekonomi dan politik global yang diikuti dengan era pasar bebas yang dibaluti semangat kapitalisme yang membuntuti filosofi 'modal tak lagi berbendera' dan 'peredaran barang tak lagi bertuan'. Ini jelas menimbulkan paradigma-paradigma baru yang di dalamnya semua bergerak berlandaskan pada pergerakan modal investasi dan barang produksi yang 'tidak berbendera dan tidak bertuan', yang akan terus menjadibatu sendi interpendensi global yang terus memintal dunia.

Setiap negara, khususnya Indonesia yang masih mengalami kesulitan keuangan, tentu sangat mengharapkan aliran dana investasi ke dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia pun tidak henti-hentinya menciptakan daya tarik bagi investor asing, seperti menciptakan keunggulan komparatif. Dalam hal ini, Indonesia pun terus melakukan kreasi dan inovasi baru, seperti mengkaji ulang strategi industrialisasi demi menciptakan keunggulan-keunggulan baru dalam kaitannya dengan spesialisasi dunia di tengah fenomena konsep negara yang telah berubah menjadi supermarket minidunia.

Yang menimbulkan persoalan ke depan adalah bagaimana supaya korporasi bisnis yang akan meningkat tajam dalam skala global ini tidak menimbulkan implikasi inefisiensi dan mislokasi sumber daya. Dan, pada gilirannya, ketidakadilan global menganga lebar dan kesejahteraan dunia akan menurun drastis.

Ketidakadilan akan sangat dirasakan oleh negara-negara yang belum maju teknologi ekonominya, seperti Indonesia yang sangat menginginkan dana investasi untuk menyegarkan dan menggerakkan kembali roda perekonomian demi meningkatkan daya saing di bidang produksi. Namun, harus diingat bahwa efek investasi pun tidak bisa dianggap ringan. Lihat, bagaimana telah terjadinya kasus korupsi yang dilakukan olehinvestor asing. Contohnya adalah apa yang tertera dalam buku yang diterbitkan oleh Transparency International (TI).

Global Corruption Report (2004) secara mengejutkan menampilkan data-data tentang korupsi oleh investor asing, khususnya tentang bagaimana investor asing menyuap pejabat-pejabat negara. Perusahaan-perusahaan lokal akan semakin kalah bersaing karena suap yang dilakukan olehinvestor asing. Lalu, bagaimana menangkalnya?

Etika global
Apabila pola pergerakan investasi dan hasil produksi, misalnya, mengalami perubahan drastis, perlu diperhatikan berbagai hal. Pertama, tindakan tertentu dari suatu pemerintahan sebuah negara untuk melindungi tujuan nasionalnya akan mengakibatkan menurunnya kesejahteraan secara global. Meskipun tindakan itu memberikan manfaat bagi ekonomi domestiknya, tidak dapat dimungkiri bahwa net cost akan muncul di tempat lain.

Kedua, harus disadari bahwa negara memiliki fungsi legitimasi yang menimbulkan gejala untuk korporasi global. Maka, muncullah pertanyaan, bagaimana membedakan antara fungsi legitimasi pemerintah dengan fungsi mendorong kesejahteraan dunia.

Ketiga, konflik akan muncul antara pemerintah berbagai negara dan antara berbagai kepentingan usaha. Apabila konflik ini terus berlangsung, yang terjadi adalah terabainya kesejahteraan masyarakat. Maka, solusi apa yang yang harus diambil?

Menurut Bergsten dan Graham, dua ahli ekonomi pembangunan dan politik, menegaskan bahwa diperlukan semacam konklusi, yakni adanya strategi untuk restrukturisasi dan tertib internasional untuk menjamin terbentuknya pola investasi internasional beserta barang-barang produksinya, di mana alokasi yang tidak efisien dapat dihindarkan agar nasib rakyat miskin di dunia tidak terabaikan, kesejahteraan masyarakat dunia dapat tercipta, dan jurang ketidakadilan antarnegara dapat dipersempit.

Yang terpenting adalah diperlukan bangunan etika global yang berperan mem- back up setiap penyelewengan yang terjadi di belantara pasar bebas. Kemiskinan, kemelaratan, dan ketidakadilan yang terdapat di dunia yang menimpa negara-negara miskin hakikatnya tidak lagi akibat kesalahan negara-negara bersangkutan sehingga itu pun menjadi tanggung jawab global pula. Kesejahteraan bersama dan keadilan global pun merupakan sebuah fiksi moral dan wujud perilaku etis global pula.

Kesejahteraan dan keadilan global merupakan sesuatu yang tercipta oleh keharmonisan berbagai kepentingan yang selalu memerhatikan nilai-nilai moral dan tata etika yang dianut umum. Maksudnya, perilaku etis global adalah perilaku negara-negara yang bertanggung jawab atas nasib masyarakat dunia. Negara-negara yang bertindak etis adalah negara-negara yang bertanggung jawab atas nasib dunia yang pincang akibat menggelindingnya pasar bebas ini. Jika ini terjadi, perwajahan ekonomi dan politik global tidak akan kehilangan rona kemanusiaannya.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi arus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan pengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.

Berbeda dengan kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27% perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75% perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan sosial (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan).1 Survei ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.

Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.

Jakarta, 10 Februari 2010. Sebuah program baru diperkenalkan oleh dua perusahaan nasional, yaitu PT PERTAMINA (Unit Bisnis Pelumas) bekerjasama dengan PT ASURANSI JIWASRAYA (Persero) dalam sebuah sinergi dan kerjasama yang positif dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, khususnya untuk para mekanik bengkel melalui program Asuransi Kesehatan (Senin 8/2/10).

Secara simbolis acara ini dihadiri oleh 20 orang perwakilan mekanik bengkel yang berhak mendapatkan fasilitas Asuransi Kesehatan bersama keluarganya. Acara disaksikan oleh sejumlah pejabat Pertamina, Asuransi Jiwasraya, dan pihak agency. Mengambil lokasi di Cafe Bengawan Solo yang terletak dalam area SPBU No. 31-12802 Jl. M.T. Haryono Tebet. Sebagai catatan SPBU ini adalah milik Pertamina dan dikelola oleh Pertamina sendiri yang dikenal dengan istilah COCO (Company Owners, Company Operation).

Manager CSR Pertamina, Guntara dalam sambutannya mengatakan: “Sehat Bersama Pertamina merupakan wujud sinergi antara program CSR Pertamina dengan Unit Bisnis Pelumas Pertamina untuk membantu pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat luas. Melalui pemberian asuransi kesehatan khususnya untuk mekanik dan anggota keluarganya, maka ini diharapkan berujung pada pertumbuhan penjualan”.

Toharso, Corporate Secretary Pertamina

Dalam kata sambutan yang disampaikan oleh pejabat Pertamina, Bpk. Hendrato Tri selaku VP Pertamina Pelumas, dan juga Bpk. Toharso selaku Corporate Secretary PT Pertamina menegaskan bahwa kerjasama ini merupakan bukti dari Pertamina yang telah menunjukkan kepedulian terhadap peningkatan kesehatan masyarakat melalui salah satu program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan tajuk “Sehat Bersama Pertamina”.

“Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas nasional terbesar di Indonesia senantiasa memberikan komitment yang tinggi bagi masyarakat Indonesia yang seluas-luasnya. Adapun program pelayanan masyarakat dari Pertamina, antara lain Program Pendidikan untuk kalangan guru, Program Kesehatan yang dikenal dengan Sehati (red=sehat bersama anak dan ibu), Program Lingkungan, dan dan Program Infrastrukur,” demikian papar Toharso selaku Sekretaris Perseroan melalui kata sambutannya.

Suasana Acara Launching

Adapun program asuransi kesehatan ini dikelola melalui seleksi yang ketat, dimana para mekanik diminta untuk mengisi formulir pendaftaran dan diajukan kepada PT Asuransi Jiwasraya untuk mendapatkan jaminan. Untuk tahap pertama, asuransi kesehatan ini diberikan secara cuma-cuma alias gratis oleh Unit Bisnis Pelumas PT Pertamina kepada 1000 orang mekanik yang berada di kawasan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

“Dengan adanya fasilitas asuransi kesehatan, diharapkan para mekanik nantinya bisa memberikan kinerja yang lebih baik lagi, karena sudah memiliki jaminan asuransi kesehatan bagi dirinya maupun keluarga. Tentu saja, para mekanik ini akan selalu ingat nama pelumas Pertamina sebagai oli yang berkualitas dan selalu direkomendasikan bagi pelanggannya,” jelas Toharsi lagi.

De Yong Adrian, Direktur Pemasaran PT. Asuransi Jiwasraya (Persero)

Secara marketing program ini sebenarnya sah-sah, saja, karena premi asuransi kesehatan ini dibayarkan oleh PT Pertamina kepada perusahaan asuransi PT Asuransi Jiwasraya selaku pihak penanggung.

Info yang diperoleh melalui obrolan ringan dengan Bpk. De Yong Adrian selaku Direktur Pemasaran PT. Asuransi Jiwasraya (Persero), premi mekanik per orangnya hanya Rp.380 ribu. Sementara itu mekanik sudah mendapat jaminan rawat inap dengan biaya kamar Rp.175 ribu per hari. Melalui slide presentasi yang disampaikan oleh Bpk. De Yong, jelas terlihat program ini memberikan santunan kesehatan untuk setiap mekanik, serta satu (satu) istri dan 1 (satu) anak. Dan jaminan ini berlaku selama 1 tahun dari tanggal 1 Februari 2010 hingga 31 Januari 2011.

Kartu Peserta Asuransi Kesehatan

Setiap mekanik sebagai peserta asuransi kesehatan tersebut akan mendapatkan buku panduan program, daftar rumah sakit, dan kartu peserta dengan jaminan meliputi santunan rawat inap, biaya perawatan, biaya operasi, konsultasi dengan dokter spesialis, biaya Unit Gawat Darurat (UGD), biaya ambulan, biaya Intensive Care Unit (ICU), serta santunan duka. Pengobatan rawat jalan dan penyakit kronis yang pernah diderita oleh peserta pastinya tidak akan dijamin.

Jika anda seorang mekanik, dan ingin mendapatkan jaminan asuransi kesehatan dari Pertamina, jangan abaikan para canvaser yang rajin menyebarkan brosur, serta mengunjungi bengkel-bengkel di Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten. Tak menutup kemungkinan pihak Pertamina akan menambahkan kuota peserta hingga 5 ribu atau 10 ribu jika penjualan pelumas Pertamina terus bertumbuh.